Sabtu, 11 Februari 2012

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Selasa, 07 Februari 2012

Perang Bubat Sebuah Kebohongan Para Pemecah Belah Nusantara

Perang Bubat Sebuah Kebohongan Para Pemecah Belah Nusantara


Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 masehi.

Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.

Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.

Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.

Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.

Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.

Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.

Sebenarnya peristiwa bubat ini adalah upaya daripada devide et impera yang dilancarkan oleh para penjajah belanda yang kemudia di kembangkan dan dilestarikan kembali oleh penjajah bangsa Nusnatara yang bernama Indonesia saat ini, bersama dengan penguasa Negara kesatuan republic Indonesia, devide et impera terus dilestarikan, hukum belanda yang merupakan produk hokum pemjajah untuk melestarikan penjajahannya juga terus dilestarikan Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.

Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).

Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.Sejarah tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat cerita tentang perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.Buktinya penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.



Pusat Kerajaan Majapahit pun berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat. lokasi Bubat bukan sebagai pusat kerajaan Majapahit, di sekitar Bubat diperkirakan sebagai lingkungan yang padat penduduk. Seharusya jika terjadi peperangan, tentulah diketahui oleh masyarakat sekitar. Kalaupun terjadi pertempuran, barangkali bukan pertempuran besar. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar belum pernah mendatangi langsung tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi pecahnya Perang Bubat "Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempumya pasukan-pasukan zaman dulu," katanya.

Bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya ditemukan tombak dan keris yang berceceran.Nmun pada peristiwa Bubat ini, sanagt miskin bukti arkeologi. Bahkan bisa dibilang, belum ada bukti arkeologinya. Peristiwa sejarah akan lebih dipercaya jika mempunyai bukti-bukti arkeologi. Apalagi kalau sampai ada prasasti yang menerangkannya, tidak akan bisa dibantah.

Bukti arkeologi akan memperkuat bukti sejarah yang berupa naskah-naskah kuno. Naskah kuno biasanya sudah melalui proses penyalinan berkali-kali sehingga memungkinkan adanya perubahan dari naskah aslinya Tetapi setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. "Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," katanya.Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara. Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu) kota Majapahit.



DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut

Perang Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir

dua abad setelah peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain

Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.

Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca sama

sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.



Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa

Barat. Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis

wartawan dan budayawan Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan

peristiwa itu secara mengharukan.Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa

dituturkan kembali sebagai berikut: "Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda

di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus

mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap agar orang Sunda menikahkan

putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu Maharaja tidak

bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan

(jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang

Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia

menganggap rajaputri sebagai upeti".



Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rombongannya menolak permintaan

tersebut. Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja

Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang

Bubat pada hari Selasa-Wage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang

bulan Badra tahun 1279 Saka.



Orang Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para

penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat.

Jika memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja

yang mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.



Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan

emosional dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi

bagian-bagian yang mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno

di atas, patut dikesampingkan atau bahkan diabaikan karena dianggap

menyesatkan. Namun jika benar kandungan naskah kuno tersebut, mengapa kita

harus malu dan kemudian berusaha menutup aib seseorang yang selama itu

berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah pepatah lama

mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"



Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang. Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang kekeliruan atau kesalahan yang sama. Dalam buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing.Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara" (Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18). Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai "perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian meninggal.



Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir.Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi". Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya, "perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh. Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.

Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan. Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat. Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu, sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang. Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi.

Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.

Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika menaklukkan Bali.

Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus. Namun peperangan masih belum berakhir.Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan". Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.Prabu Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.

Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104 tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumber-sumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.

Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran



beberapa data yang patut dikaji ulang mengenai peristiwa Bubat
1. Kidung Sunda,
Bahwa ketika melihat Dyah Pitaloka mati, Hayam Wuruk sedih hatinya dan tak lama setelah itu maka Hayam Wuruk meninggal dunia, yang menjadi pertanyaan adalah jika setelah beberapa saat peristiwa Lapangan Bubat Raja Hayam Wuruk mangkat maka pada usia berapa tahun Hayam Wuruk memiliki anak yaitu Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana, andai saja kidung itu benar seharusnya akan ada masa kekosongan posisi Raja Majapahit karena putri Kusumawardhani masih kecil dan ini tentunya akan jauh lebih heboh.
Disebutkan bahwa utusan Majapahit ke Sunda hanya menempuh waktu 6 hari dengan menggunakan kapal, jika menggunakan kapal besar kemungkinannya melalui sungai brantas, sementara sungai brantas bermuara di selat surabaya berarti jauh sekali, jika melalui laut selatan mungkinkah? lantas benarkah kejadian tersebut!

2. simulasi angka tahun sejarah(data diambil dari wikipedia)
- 1334 Hayam Wuruk lahir (ditandai dengan gempa besar di prabanyu pindah)
- 1351 peristiwa lapangan Bubat berarti usia Hayam Wuruk 17 tahun(1351-1334=17)
- 1365 dalam negara krtagama Kusumawardhani sudah menikah dengan Wikramawardhana, jadi usia Kusuma wardhani pada saat peristiwa bubat adalah kurang dari 14 tahun(1365-1351=14), dan usia Hayam Wuruk adalah 31 tahun (1365-1334=31)
- 1377 Hayam Wuruk menyerang palembang sebagai penundukan atas Sriwijaya, usia Hayam Wuruk 43 tahun (1377-1334=43)
- 1389 Hayam Wuruk Meninggal di usia 55 tahun(1389-1334=55) dan wikramawardhana menjadi raja
jika hal di atas benar maka benarkah kutipan dalam pararaton menyebut bahwa Hayam Wuruk meninggal setelah peristiwa bubat karena kesedihan atas meninggalnya Dyah Pitaloka, karena berdasar data tersebut Hayam Wuruk meninggal 38 tahun setelah peristiwa Bubat!!

source: http://politikana.com/baca/2010/05/30/perang-bubat-sebuah-kebohongan-para-pemecah-belah-nusantara.html

kidung sundaKIDUNG SUNDA

Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran

Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

[edit] UGA WANGSIT SILIWANGI

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

ENERGI KA’BAH


ENERGI KA’BAH

SEJARAH MAJAPAHIT

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[10] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[10][11] Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[12][13] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[13] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

PAKUAN PAJAJARAN


Pengantar

Bagi sebagian masyarakat Jawa Barat, Kerajaan Tarumanagara, Pajajaran, Galuh, Pakuan, Kawali adalah bagaikan cerita diantara mitos dan sejarah. Tak jelas lagi yang mana mitos dan yang mana sejarah. Masyarakat, banyak sekali yang mengenal kerajaan dan tokoh-tokohnya sebatas nama yang dipakai untuk nama jalan seperti misalnya jalan Pajajaran atau Wastu Kencana, dan ada sebagian kecil yang mengenal melalui karya-karya sastra seperti Mundinglaya Dikusuma, .. atau dari sejenis kakawihan (senandung) seperti Ayang-ayang Gung yang menceritakan tokoh Ki Mas Tanu, ... pribumi perwira kompeni Belanda yang dalam dirinya terbersit muncul rasa bangga akan kejayaan Pajajaran ketika membuka wilayah di atas puing kerajaan, ...walau pada akhir cerita beliau menderita dua kerugian..dikucilkan oleh kompeni dan dicaci sebagai penghianat oleh masyarakat pribumi, ...konon katanya ...dan tetap tidak banyak diketahui siapa tokoh Ki Mas Tanu itu, ...fiktifkah, samarankah, atau realita yang terkubur dan terlupakan terlindas pergantian jaman. Juga boleh jadi nama "Sunda" sendiri sebagai sebutan wilayah Jawa Barat tak banyak diketahui asal-usulnya oleh masyarakat setempat.

Tentu saja masih banyak mitos, legenda atau riwayat tokoh-tokoh dan kerajaan yang masih hidup dalam cerita masyarakat yang mungkin bisa dirunut dan dijelaskan lebih rinci sebagai bagian dari sejarah atau kenyataan di masa lalu yang layak untuk dijadikan'pelajaran' ... Mudah-mudahan tulisan dan site ini bisa menjadi salah satu penjelas, serta akan menjadi suatu kehormatan bagi kami jika dapat menjadi bagian dari proses mendapatkan 'pelajaran' itu.

Isi tulisan dalam site bersumber dari buku Sejarah Bogor (Bagian I) yang ditulis oleh Saleh Danasasmita (alm), dan diterbitkan oleh PEMDA DT II Bogor 1983.

Edisi cyber adalah merupakan hasil kompilasi dari 45 posting e-mails dengan topik "Dayeuh Bogor" di milis (mailing-list) ipbstaf yang disampaikan oleh administrator-nya, yaitu; sdr. Dadan Hindayana, selama dua bulan dari mulai 28 Juni sampai 26 Agustus 2000.

Beberapa catatan baik dari penulis maupun dari poster rasanya perlu disampaikan dalam pengatar di sini sekalipun beliau berdua masing-masing menyampaikan pesannya sebagai catatan penutup, sebagai berikut:

Posting-posting yang telah saya kirim 100 % dirujuk dari buku karangan Saleh Danasasmita, meskipun dalam penyampaianya telah mengalami banyak perubahan dari sumber aslinya. Hal ini dilakukan karena saya pribadi menilai susunan paragrap dalam buku itu terkadang banyak melompat. Apa yang telah saya lakukan hanyalah pendapat pribadi saja dan menurut saya demikianlah runtutan kisah itu semestinya disajikan. Atas dasar ini, bila ada kekeliruan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan tentu saja saya persilahkan kepada anda sekalian untuk membaca sumber aslinya.

Terakhir saya masih ingin menyampaikan untaian kata yang ditulis oleh Pak Saleh Danasasmita dalam buku itu sebagai bahan renungan:

Hidup adalah jalinan antara manusia, ruang dan waktu. Manusia senantiasa akan berganti, ruang selalu berubah wujud dan waktu tak pernah berhenti. Itulah panggung kehidupan kita. Sejarah hanyalah sekelumit upaya manusia untuk mengenal dirinya melalui tangga waktu: dari mana dia datang, di mana dia berada dan ke mana dia akan menuju. Apa ang kita warisi, apa yang kita buat dan kita pakai, lalu apa yang akan kita wariskan.

"Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah" untuk maju setapak kita memerlukan pengalaman satu langkah lebih dulu Tanpa membina diri terus-menerus, kita akan kehabisan bekal. Demikianlah ujar pepatah para leluhur.


Catatan lain dari penulis yang juga sangat menarik untuk kita renungi dan cermati atau lebih jauh kita jadikan sebagai bahan perbandingan rujukan dalam 'melangkah' dan berkarya, meski pesan penulis tersebut disampaikan dalam konteks upaya memahami makna simbol-simbol dari peninggalan-peninggalan fisik karya manusia di wilayah Bogor, yaitu sebagai berikut:
..........
Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu BUKAN UNTUK PARA PENGHUNINYA, melainkan TERDIRI ATAS PARA PENGHUNINYA.


Pesan-pesan yang sangat menarik untuk dicermati, bukan?........
Ahirul kata, selamat membaca, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika banyak kekeliruan. Saran dan koreksi senantiasa dengan senang hati akan diterima.

Salam
Margaharta Iskandar
Kagoshima 28 Agustus 2000

Berikut disertakan alamat kontak:

1. Writer:
Saleh Danasasmita (alm)
Bogor.

2. Poster:
Dadan Hindayana
Institute of Plant Diseases and Plant Protection
Herrenhaeuser Str.2,D- 30419 Hannover
Tel./fax: ++49-511-7622641/7623015
http://hpt-ipb.dhs.org
e-mails:
dadan.hindayana@stud.uni-hannover.de
hindayana@mbox.ipp.uni-hannover.de
hdayana@ipb.ac.id

home:
Holzmarkt 6 A2.3
D-30159 Hannover
Tel.++49-511-7626426

3. Compiler:
Margaharta Iskandar
Dept. of Marine Production and Environmental Studies
United Graduate School, Faculty of Fisheries
Kagoshima University
Shimoarata 4-50-20
Kagoshima-Shi, 890-0056
JAPAN
Fax (81)-(99)-286 4295
E-mail margaharta.iskandar@angel.fish.kagoshima-u.ac.jp
URL: http://www.geocities.com/m6060

Jumat, 03 Februari 2012

Penghalang Malaikat Rahmat Masuk ke Rumah


Penghalang Malaikat Rahmat Masuk ke Rumah

Oleh: Abu Hudzaifah Ibrahim bin Muhammad

Islam adalah agama yang mencintai kebersihan sehingga mengingatkan bahayanya memiliki anjing, bahkan melarang memelihara anjing kecuali untuk kepentingan penjagaan keamanan atau pertanian. Tidak sedikit nash hadits yang menyatakan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing [1] dan pahala pemilik anjing akan susut atau berkurang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya) : “ Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing (2), juga tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar (patung)” [Hadits sahih ditakhrij oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah yang semuanya dari Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahihul-Jami' No. 7262]
Rasulullah bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang didalamnya terdapat anjing” [Hadits sahih ditakhrij oleh Thabrani dan Imam Dhiyauddin dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu. Lihat pula Shahihul Jami' No. 1962]
Rasulullah bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya malaikat tidak akan memasuki rumah yang didalamnya terdapat anjing dan gambar (patung)” [Hadits sahih ditakhrij oleh Ibnu Majah dan lihat Shahihul Jami' No. 1961]
Ibnu Hajar (3) berkata : “Ungkapan malaikat tidak akan memasuki….” menunjukkan malaikat secara umum (malaikat rahmat, malaikat hafazah, dan malaikat lainnya)”. Tetapi, pendapat lain mengatakan : “Kecuali malaikat hafazah, mereka tetap memasuki rumah setiap orang karena tugas mereka adalah mendampingi manusia sehingga tidak pernah berpisah sedetikpun dengan manusia. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu Wadhdhah, Imam Al-Khaththabi, dan yang lainnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan ungkapan rumah pada hadits di atas adalah tempat tinggal seseorang, baik berupa rumah, gubuk, tenda, dan sejenisnya. Sedangkan ungkapan anjing pada hadits tersebut mencakup semua jenis anjing. Imam Qurthubi berkata : “Telah terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang sebab-sebabnya malaikat rahmat tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat anjing. Sebagian ulama mengatakan karena anjing itu najis, yang lain mengatakan bahwa ada anjing yang diserupai oleh setan, sedangkan yang lainnya mengatakan karena di tubuh anjing itu menempel najis.
Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian dengan Jibril bahwa Jibril akan datang. Ketika waktu pertemuan itu tiba, ternyata Jibril tidak datang. Sambil melepaskan tongkat yang dipegangnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak mungkin mengingkari janjinya, tetapi mengapa Jibril belum datang ?” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh, ternyata beliau melihat seekor anak anjing di bawah tempat tidur. “Kapan anjing ini masuk ?” tanya beliau. Aku (Aisyah) menyahut : “Entahlah”. Setelah anjing itu dikeluarkan, masuklah malaikat Jibril. “Mengapa engkau terlambat ? tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril. Jibril menjawab: “Karena tadi di rumahmu ada anjing. Ketahuilah, kami tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (patung)” [Hadits Riwayat Muslim].
Malaikat rahmat pun tidak akan mendampingi suatu kaum yang terdiri atas orang-orang yang berteman dengan anjing. Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Malaikat tidak akan menemani kelompok manusia yang di tengah-tengah mereka terdapat anjing”. [Hadits Riwayat Muslim]
Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut : “Hadits di atas memberikan petunjuk bahwa membawa anjing dan lonceng pada perjalanan merupakan perbuatan yang dibenci dan malaikat tidak akan menemani perjalanan mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan malaikat adalah malaikat rahmat (yang suka memintakan ampun) bukan malaikat hafazhah yang mencatat amal manusia. [Lihat Syarah Shahih Muslim 14/94]
Sementara itu, mengenai hukum yang berkaitan dengan hasil jual beli anjing (harga anjing), terdapat beberapa nash yang mengharamkan, diantaranya adalah sebagai berikut. Abi Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hasil yang diperoleh dari jual beli anjing, darah, dan usaha pelacuran [Hadits shahih ditakhrijkan oleh Bukhari juga ditakhrijkan dalam Ahaditsul Buyu' oleh Imam ay-Thayalisi, Imam Ahmad, juga oleh Baihaqi. Dan lihat Shahihul Jami' no. 6949].
Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli anjing dan kucing (4) Selain itu, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli anjing, hasil kezaliman, dan upah dari hasil praktik perdukunan [Hadits shahih ditakhrijkan oleh Bukhari, Muslim, Imam hadits yang empat. Hadits ini juga ada dalam Shahihul Jami' no. 6951].
Imam al-Baghawi berkata (5) : “Menurut mayoritas ulama, jual beli anjing itu hukumnya haram sebagaimana upah dari hasil perdukunan (pertenungan), dan pelacuran. Kaitannya dengan hal itu, Abi Hurairah berkata : “Semuanya itu tergolong dalam penghasilan haram”.
Footnote :
1. Yang sangat kami sayangkan adalah adanya beberapa orang yang mengaku modern dan maju memiliki anjing dan menganggapnya sebagai teman serta digauli melebihi pergaulannya terhadap manusia. Hal itu dilakukan dalam rangka meniru kebiasaan masyarakat barat.
2. Di dalam kitab Faidhul-Qadir 2/394, Imam al-Manawi mengatakan : “Yang dimaksud dengan malaikat pada hadits tersebut adalah malaikat rahmat dan keberkahan atau malaikat yang bertugas keliling mengunjungi para hamba Allah untuk mendengarkan dzikir dan sejenisnya, bukan malaikat penulis amal perbuatan manusia karena malaikat itu tidak akan pernah meninggalkan manusia sekejap pun sebagai mana halnya malaikat maut. Mengapa malaikat rahmat tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing ?. Karena anjing itu mengandung najis, sedangkan malaikat terpelihara dari tempat-tempat yang kotor. Mereka adalah makhluk Allah yang paling mulia serta tetap berada pada tingkat kebersihan dan kesucian yang paling luhur. Perbandingan antara malaikat yang suci dan anjing yang najis laksana terang dan gelap. Barangsiapa yang mendekati anjing, malaikat akan menjauh darinya.
3. Fathul Bari bab 48 At-Tashawir hadits No. 5949
4. Hadits shahih ditakhrijkan oleh Ahmad, hakim, dan Imam hadits yang empat. Hadits ini juga ada dalam Shahihul Jami’ no. 6950
5. Lihat Syarhus Sunnah 8/23

Hukum Seputar Memelihara Anjing


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبًا ضَارِيًا لِصَيْدٍ أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga binatang ternak, maka pahalanya akan berkurang dua qirath setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5059 dan Muslim no. 2940)
Satu qirath banyaknya sebesar gunung uhud.
Juga dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ مَاشِيَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh anjing kecuali anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga kambing atau menjaga hewan ternak.” (HR. Muslim no. 1571)
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْلَا أَنَّ الْكِلَابَ أُمَّةٌ مِنْ الْأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا فَاقْتُلُوا مِنْهَا الْأَسْوَدَ الْبَهِيمَ وَمَا مِنْ قَوْمٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ كَلْبَ حَرْثٍ إِلَّا نَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Sekiranya anjing itu tidak termasuk dari sekelompok ummat dari ummat-ummat, niscaya aku akan perintahkan untuk membunuhnya. Oleh karena itu bunuhlah jenis anjing yang berwarna hitam pekat. Dan tidaklah suatu kaum memelihara anjing selain anjing penjaga ternak, atau anjing untuk berburu, atau anjing penjaga kebun, melainkan pahalanya akan berkurang dua qirath setiap harinya.” (HR. At-Tirmizi no. 1486, An-Nasai no. 4280, Ibnu Majah no. 3196, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5321)
Juga dari Ibnu Mughaffal radhiallahu anhu dia berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ وَقَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ
“Rasulullah memerintahkan membunuh anjing, kemudian beliau bersabda: “Ada (hubungan) apa antara mereka dengan anjing?” Kemudian beliau memberikan keringanan pada anjing pemburu dananjing (penjaga) kambing (untuk tidak dibunuh) seraya bersabda: “Apabila seekor anjing menjilat pada suatu wadah, maka kalian cucilah dia tujuh kali, dan campurkan dengan tanah pada pencucian yang kedelapan.” (HR. Muslim no. 280)
Dari Abu Thalhah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ
“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak juga yang ada gambar”. (HR. Al-Bukhari no. 3075 dan Muslim no. 2106)
Penjelasan ringkas:
Dari dalil-dalil di atas ada beberapa hukum yang wajib diperhatikan oleh setiap orang yang memelihara anjing atau yang di sekitarnya terdapat anjing:
1.    Haramnya memelihara anjing kecuali 3 jenis anjing yang dikecualikan yaitu: Anjing berburu, anjing penjaga ternak, dan anjing penjaga kebun.
2.    Sisi keharamannya karena orang yang memelihara anjing -selain dari yang dikecualikan- akan berkurang pahalanya sebanyak 2 qirath setiap harinya, sementara tidaklah seseorang itu hilang pahalanya kecuali yang dia lakukan adalah hal yang haram.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin menjelaskan hadits di atas, “Adapun memelihara anjing dihukumi haram bahkan perbuatan semacam ini termasuk dosa besar -wal ‘iyadzu billah-, karena seseorang yang memelihara anjing selain anjing yang dikecualikan maka akan berkurang pahalanya dalam setiap harinya sebanyak 2 qiroth.”
3.    Amalan yang bisa menghapuskan amalan bukan hanya kekafiran dan kesyirikan akan tetapi ada beberapa dosa besar yang bisa menghapuskan amalan baik, di antaranya adalah denganmemelihara anjing.
4.    Asalnya tidak boleh membunuh anjing, akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam membolehkan untuk membunuh anjing yang berwarna hitam. Hal itu karena disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa anjing hitam itu adalah setan.
5.    Anjing berwarna hitam bukanlah termasuk harta secara syar’i, karena seandainya dia adalah harta maka perintah untuk membunuhnya berarti perintah untuk membuang harta, sementara membuang harta adalah hal yang dilarang dalam syariat Islam.
Karena dia bukanlah harta, maka tidak boleh memperjual belikan atau menyewakannya dan juga bagi siapa yang membunuhnya maka dia tidak dimintai biaya ganti rugi menurut syariat.
6.    Dalam memilih anjing berburu atau penjaga ternak atau penjaga kebun, sebaiknya mencari selain yang berwarna hitam.
7.    Diwajibkan untuk mencuci semua benda yang terkena liur anjing, dengan cara dicuci dengan air sebanyak 8 kali dan pada cucian yang kedelapan dicampur dengan tanah.
Ini hanya berlaku pada benda yang terkena liur anjing. Adapun yang tersentuh oleh tubuh anjing maka tidak disyariatkan untuk dicuci sebanyak 8 kali kecuali jika liur mengenainya.
8.    Tidak boleh membawa masuk anjing ke dalam rumah, baik anjing yang diizinkan untuk dipelihara seperti ketiga jenis anjing di atas apalagi anjing yang asalnya dilarang untuk dipelihara. Karenanya anjing berburu atau penjaga ternak atau penjaga kebun, dia boleh dipelihara akan tetapi tidak diperbolehkan membawanya masuk ke dalam rumah, karena para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing.
Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas, wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-seputar-memelihara-anjing.html